...Selamat Datang di Blog Karya Tulisan Saya...
Kunjungi juga karya-karya tulisan saya yang lain di:
http://www.katharsis-holydiary.blogspot.com/
http://www.katharsis-completejourney.blogspot.com/
Selamat Membaca!

Saturday, December 19, 2009

Terbentuknya Alam Semesta dan Kemerosotan Mental - Kritik Kepada Kaum Terdidik

Pada mulanya, ketika alam semesta ini terbentuk, semua hal adalah 1 dan sama adanya. Ia yang bersifat tunggal ini tidak tidak memiliki nama Keseluruhan gerak energi ini berjalan begitu lembut, spontan dan sangat tidak sadar. Bola gerak energi ini tidak kelihatan dan ia sangat identik dengan sebuah bola ketidak sadaran. Tapi, lama kelamaan gerakan ini mulai melambat dan menggumpal menjadi zona–zona, lalu kemudian memadat menjadi benda–benda alam yang kita kenal melalui indera. Karena gerakan memadat ini begitu bervariasi dan saling mempengaruhi, maka terbentuk pula berbagai benda alam yang seperti kita kenal sekarang ini. Sebut saja bumi ini sendiri, matahari, planet. bulan, laut, gunung, sungai, hewan, tumbuhan, dan termasuk manusia itu sendiri. Dengan adanya pemadatan ini, bukan berarti proses gerak alam yang lembut tadi sudah tidak ada, ia masihlah berlanjut dan energi itu masih tetap bergerak. Untuk mamahami ini, kita perlulah menggeser definisi kita tentang energi dari wilayah fisika yang selama ini kita pelajari. Data–data numeric yang ada di laboratorium seperti arah dan panasnya cahaya, tekanan, arah dan kecepatan angin, serta kelembaban dan lain lain perlulah kita lampaui, agar kita dapat melihatnya secara keseluruhan ( holistic ).

Dengan semakin terbentuknya benda–benda[1] alam tadi, maka semakin pula bola ketidaksadaran tadi menjadi disadari pada masing–masing benda tersebut. Karena gerakan energi yang bervariasi, maka batas kesadaran dari benda–benda itu juga terhenti di tengah bola ketidaksadaran itu dan memiliki kecenderungan untuk naik dan turun di sepanjang hidupnya. Maka, disinilah permulaan dari benda–benda itu untuk belajar[2]. Inilah juga awal dimana benda–benda itu saling memisahkan[3] diri ketika sadar. Sedang manusia berada, termasuk dan hidup di antara benda–benda itu.

Memadatnya tubuh manusia, membuat kesadarannya terhenti mengisi sebagian/sedikit dari bola ketidaksadaran tadi. Padahal bola utuh ini adalah inti dari kehidupan dalam alam semesta ini. Sebuah pemahaman akan kehidupan. Dari sini, misi utama belajar manusia adalah meningkatkan kesadarannya hingga memenuhi keseluruhan dari bola ketidaksadaran tadi. Belajar pun mencapai titik final ketika keseluruhan bola tersebut menjadi bola kesadaran akan kehidupan. Dan dapat dikatakan belajar adalah perjalanan hidup itu sendiri.

Berawal dari manusia purba, yang pada masa itu wujudnya belum menyerupai manusia, mungkin hanya sebentuk organisme yang sedang berada dalam wujud transisi kemenjadian[4]. Sebuah periode dimana bentuk fisik dan mental mengalami perubahan lebih cepat dalam kurun waktu tertentu dibanding dengan periode yang lain. Pada saat seperti itu pula, ada semacam revolusi besar – besaran terhadap perangkat tafsir dari pada kelompok organisme ini. Misalnya perubahan yang terjadi pada sifat makan[5], yang turunan dari sifat menaklukkan[6] bukan terletak pada cara - cara makan[7]. Dalam keadaan transisi seperti ini, kesimpangsiuran penerimaan segala hal dari luar melalui seluruh kepekaan indera masihlah menyatu dan bergerak spontan dalam ketidaksadaran, sehingga pemunculan manusia kelompok pertama ini terkondisikan untuk memiliki kepekaan yang sangat mendekati[8] makna utuh dari kehidupan di dalam mentalnya. Lama kelamaan kepekaan yang besar ini melahirkan kebingungan ( rasa takut[9] ) pada manusia generasi ke 1 tersebut untuk melanjutkan hidup. Kekosongan yang merupakan makna sesungguhnya dari kehidupan sangatlah tidak sesuai bagi segala benda yang telah memadatkan dirinya, apalagi yang berumur pendek seperti manusia dan hewan. Beda seperti
gunung dan laut. Maka, bola ketidaksadaran yang hampir utuh itu, dengan sendirinya bergerak dan mengisi sebuah perangkat baru kepada manusia, agar mereka dapat melanjutkan hidupnya dan memenuhi syarat utama sebagai mahkluk yang memadat. Kehidupan dengan tubuh yang memadat, haruslah memandang tubuh dan jiwa menjadi 1. Dan dalam hal siapa yang mengambil keputusan untuk perangkat besar yang akan berlansung berjuta – juta tahun mendatang, adalah keputusan[10] dari keseluruhan semesta alam yang tidak terbatas ini. Dengan acaknya pola semesta, transisi kemenjadian mengumpankan dirinya agar terpancing pada 1 gelombang ringan dari sekian banyak gelombang kesadaran dalam lautan semesta ini. Dengan entengnya pula, sebuah kebetulan terpancing. Hawa udara yang begitu ringan, yang akan menjadi asal mula lahirnya sebuah gelombang maha besar dalam kehidupan manusia selanjutnya. Pertemuan yang ringan ini melahirkan sebuah kesadaran yang baru, yang selanjutnya akan saya sebut sebagai kesadaran pikiran[11]. Perumpamaan apa yang sesuai dengan fenomena yang tidak kelihatan ini: saya dapat mengatakan bahwa semalam ada seseorang yang meloncat ke danau karena frustasi, sesungguhnya sangat berhubungan erat dengan letupan sinyal saraf yang mengejang sesaat dalam mimpi seorang manusia purba akibat ledakan sebuah bintang yang berjarak jutaan tahun cahaya pada waktu itu.

Dengan ini, sisa kesadaran yang tipis dari gelombang lama yang sangat esensial, terbungkus oleh membran kesadaran yang baru, yaitu kesadaran pikiran tadi. Mulanya kesadaran ini masih bersifat labil, karena generasi pertama dari manusia purba ini adalah benda (seterusnya disebut manusia) yang masih mengalami transisi kemenjadian dari benda–benda lain. Hanya saja titik kritis yang sedemikian ringan telah terlewati. Dapat pula dikatakan: kesadaran pikiran ini menggantikan / mengalami kemenjadian dari kesadaran benda–benda lain sebelum pemadatan bentuk fisik pada manusia purba generasi pertama tadi. Dengan kesadaran pikiran yang berumur bayi ini, maka percikan–percikan kecil yang merupakan awal dari sebuah bentuk belajar pun dimulai.

Maka demikianlah, sebuah benih telah tertabur dan akan tumbuh serta berjalan dengan kesadarannya sendiri. Kebingungan dan rasa takut manusia–manusia primitif terhadap alam, sebenarnya semakin menurun, tapi tertahan oleh sisa – sisa dari kesadaran lama. Selanjutnya, ketika kesadaran lama mencapai titik surut, yang juga terdesak oleh wilayah ketidaksadaran, masuklah sebuah kesadaran baru yang disebut kesadaran pikiran seperti yang telah diuraikan di atas. Menurunnya rasa takut terhadap alam, sesungguhnya menandakan intuitif ketidaksadaran manusia sangat dekat pemahamannya terhadap alam. Sangat dekat, karena tertahan oleh kesadaaran lama. Tapi begitu kesadaran pikiran masuk, perlahan ketakutan itu pun mulai membesar dan menjadi sebuah titik awal keterasingan manusia purba generasi ke 1 ini terhadap alam. Di sisi lain pertarungan antara kesadaran lama dan kesadaran pikiran sedang berlangsung. Dominasi kesadaran pikiran, lama – kelamaan semakin besar dan kemudian menjadi perangkat untuk menafsirkan kembali sisa – sisa nilai dari kesadaaaran lama yang ada. Maka sebuah pencampuran dan perubahan pun terjadi. Keseluruhan dari kesadaran yang menempati bagian kecil dalam bola ketidaksadaran kemudian terisi oleh angin – angin pikiran ini, yang kemudian semakin mengentalkan dirinya. Waktu terus berjalan, kesadaran pikiran tumbuh membesar seiring membesarnya ketakutan manusia terhadap makna murni kehidupan ( alam ). Dengan demikian wujud pikiran memiliki kecenderungan memandulkan kepekaan manusia terhadap alam itu sendiri. Ketakutan terhadap makna murni kehidupan tadi memaksa kesadaran pikiran menetralisir / mengasingkan dirinya dengan menerjemahkan fenomena alam ke dalam berbagai acara ritual purba, yang terurai ke dalam suara, gerakan, tarikan nafas, sebelum kemudian dikomunikasikan ke dalam bahasa simbol[12] dan peralatan[13]. Pada fenomena ini, kemerosotan pertama yang bersifat sangat esensial telah terjadi. Bagi manusia purba generasi ke 1 ini, semua ekspresi melalui kesadaran pikiran merupakan representasi makna murni dari kehidupan itu. Sebuah pengenalan alam melalui pikiran ini merupakan awal dari kehendak kuasa agar alam dapat dikontrol / dikenal dengan baik. Sebuah kebaikan menurut kesadaran pikiran tetapi memiliki resiko besar menutup jalur kepekaan manusia terhadap makna utuh kehidupan yang sesungguhnya. Kerentanan terhadap kelumpuhan makna murni kehidupan di dalam pikiran ini pun semakin membesar ketika diekspresikan. Dan ekspresi yang tidak tertahankan ini merupakan kehendak dasar keingintahuan dari kesadaran pikiran yang ada. Semakin diekspresikan ke dalam berbagai ekspresi cara[14], semakin besar pula resiko bagi sang manusia pertama dan sesamanya terjebak oleh caranya itu sendiri. Maka mereka sendiri, haruslah melampaui segala ekspresi cara tadi. Ekspresi cara hanyalah jembatan, setelah itu dengan sayap intuitif yang tidak kelihatan, generasi manusia pertama ini harus terbang memahami kehidupan itu sendiri dalam bola alam ketidaksadaran.

Agar sifat kemenjadian dari kehidupan terus berlanjut, maka manusia purba harus berkembang biak untuk memadatkan lebih banyak lagi benda – benda seperti mereka. Ekspresi cara, yang berupa gerakan tubuh, tarikan nafas, suara, bahasa dan lain - lain, yang diekspresikan oleh generasi ke 1 tadi, kemudian akan menjadi lingkungan bagi perkembangan generasi ke-2. Dengan demikian generasi ke-2 ini tidaklah secara langsung mencerna fenomena alam yang ada. Mereka terkondisikan untuk belajar dari hasil - hasil cara berekspresi generasi 1. Penyerapan cara berekspresi ini, pada awalnya menghadapi hambatan, karena bola ketidaksadaran masihlah terisi sangat sedikit oleh kesadaran pikiran. Tapi karena generasi ke-2 adalah turunan dari generasi ke-1, maka apa yang disebut pengajaran terhadap sesama manusia secara fisik pun dimulai. Pada masa seperti ini, pengajaran dunia[15] tersebut untuk pertama kalinya telah dilakukan, yang mana sesungguhnya didasari oleh fenomena kebersamaan kelompok[16] ( penundaan ) dari kesadaran pikiran. Hal ini menyebabkan perkembangan kesadaran pikiran pada generasi ke-2 berkembang lebih cepat dari pada yang ke-1 dalam kurun waktu yang sama. Percepatan ini terjadi karena kekonkretan hasil-hasil ekspresi cara dari generasi 1 yang langsung disodorkan bahkan diajarkan di hadapan generasi ke-2. Dengan hadirnya segala ekspresi simbolik ini, maka ransangan fungsi indera pada generasi ke 2 semakin terjebak kepada penafsiran yang konkret versi kesadaran pikiran. Tentunya hal ini juga akan mempengaruhi perkembangan cara berpikir mereka. Pada saat yang sama, perlahan – lahan indera pada generasi ke-2 mulai mengalami perpecahan karena pengkondisian lingkungan yang ada. Sebagai contoh: Generasi ke-1 telah memiliki pemahaman penuh akan makna kehidupan, lalu diekspresikan dalam sebuah tarian ritual yang diiringi nyanyian, yang kemudian dituang pula ke dalam bahasa simbol dan peralatan. Generasi ke-2 yang langsung dihadapkan pada kondisi ini, akan menangkap segala kesatuan cara tersebut dengan terpisah – pisah, dimana memiliki kecenderungan untuk meniru ekspresi cara dari orang – orang yang lebih tua darinya secara konkret tanpa menjiwainya. Ketika cara- cara berekspresi dari generasi ke-1 ke dalam 5 indera yang terwujud kedalam produk yang lebih konkret, secara tidak langsung memecahkan pula cara pencerapan indera pada generasi ke-2. Hal ini membuat kesadaran pikiran generasi ke 2 terisi oleh data-data pengalaman yang terpisah – pisah dan memiliki makna yang kaku pula. Rintangan atas pemutusan antara tarian ritual dan maknanya yang dialami oleh generasi ke 2, menimbulkan bencana baru dalam penafsiran. Maka, bukanlah tidak mungkin, pada malam yang hening, ketika kesadaran pikiran istirahat, bola ketidaksadaran yang merupakan makna murni kehidupan itu sendiri menyerang manusia purba generasi ke-2 tersebut. Serangan ini membuat mereka lebih kebingungan dibanding dengan yang pernah dialami oleh generasi ke 1 terdahulu. Dengan demikian, ketika makna murni kehidupan muncul di dalam pikiran generasi ke 2, sebuah versi ketakutan akan membungkus makna itu, sehingga mereka tidak sampai pada makna mental sang pencipta ritual yang sesungguhnya dapat dikatakan lebih dapat melihat makna kehidupan itu bukan sebagai sebuah ketakutan. Sebuah janin roh segera lahir yang terwujud karena kesadaran pikiran menafsirkan makna sesungguhnya dari kehidupan, yang kemudian lebih tercermin kepada gerakan fisik yang tak terkendali oleh kesadaran. Inilah yang diturunkan dan berkembang hampir bersamaan di seluruh penjuru bumi ini pada masa – masa primitif. Sebuah asal usul dari bencana kehidupan bagi kesadaran pikiran, tetapi tidak bagi makna kehidupan yang sesungguhnya. Dimana segalanya terletak pada esensi waktu[17].

Sejak saat itu, proses belajar yang diajarkan secara fisik antar manusia mulai berlangsung dan kehidupan manusia purba pun semakin mengelompok dalam sebuah komunitas yang menempati zona kawasan tertentu. Dari turunan ke turunan, budaya yang dihasilkan dari cara ekspresi semakin bertumpuk dan tersamar oleh penafsiran kesadaran pikiran. Dari sekian keturunan, sesungguhnya kesadaran pikiran masihlah memiliki daya untuk mempertahankan makna murni dari kehidupan yang terekspresi oleh manusia generasi 1. Tapi, dengan jumlah manusia yang semakin banyak, budaya cara berekpresi pun semakin berkembang dan menyebar. Seiiring dengan itu, ketakutan terhadap alam, semakin pula ternetralisir dengan pengharapan[18] ( keingintahuan ), yang kemudian terjelma kepada percobaan – percobaan yang lebih mengandalkan pecahan – pecahan indera. Di sinilah mulai terlahir cara berpikir yang berbau sedikit ilmiah. Tingkah laku mencoba – coba pun tumbuh dengan sendirinya di dalam kesadaran pikiran manusia pada masa itu.

Lahirnya tingkah laku mencoba – coba tadi, merupakan pertanda bahwa kesadaran manusia telah seutuhnya terjebak kepada kesadaran pikiran. Yang tentu semakin sulit untuk manusia ini sendiri memahami makna utuh dari kehidupan. Di sisi lain, kesadaran pikiran mulai memiliki kecenderungan untuk mencetak emosi manusia ke dalam blok – blok makna. Yang tentu juga merangsang indera untuk menangkap segala sesuatu diluarnya secara terpisah pisah pula. Karena keseluruhan cara berekspresi lebih banyak dituangkan ke dalam budaya simbol tertulis dan peralatan yang harus dicerna oleh indera mata, maka secara turun temurun pula indera mata semakin mendominasi dibanding indera lainnya. Indera seperti pendengaran, penciuman, perabaan dan lain – lain menjadi memiliki porsi peranan yang semakin berkurang. Oleh karena hal ini, dari generasi ke generasi , manusia semakin tanggap mencerna sesuatu diluarnya dengan indera mata. Ini pula adalah salah satu sebab timbulnya tingkah laku mencoba – coba. Dengan tafsiran mata, mambuat manusia merancang sebuah konsep dunia sebagai sebab – akibat yang terpotong – potong. Yang kemudian mengkongkritkan diri ke dalam sebuah konsep fisik yang menstrukturkan kembali segala fenomena alam dan kehidupan. Sebuah dunia yang merupakan makna murni kehidupan hasil ciptaan kesadaran pikiran manusia segera lahir.
Tapi ada sebuah pertanyaan penting: Apakah dunia alam dan kehidupan ciptaan kesadaran pikiran ini dapat membuat manusia aman hidup di dalamnya? Tidaklah sama sekali, karena makna murni kehidupan ada di dalam kesatuan indera yang sangat esensial. Sebuah kesadaran akan ketidaksadaran pikiran.

Kehadiran tingkah laku mencoba – coba merupakan sebuah cara bagi manusia pada masa itu untuk belajar berpikir . Agar kegiatan berpikir ini dapat berjalan lebih baik, mulanya manusia perlu menggunakan media ekspresi cara sebagai bahasa ( berupa pananda dan yang ditandai ) yang telah diajarkan sejak manusia generasi ke 1 terdahulu.

Ketika pertama kali manusia belajar dari penanda dan yang ditandai, hal ini sudah menghasilkan sederetan kelumpuhan pada cara menafsir makna kehidupan dari manusia itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa ada beberapa pembekuan tafsiran final dari kelumpuhan yang membingunkan itu. Kebingungan tadi terjadi karena tanda yang dipelajari dan makna yang ada/ diajarkan tidak sesuai dengan apa yang ada / terjadi di alam. Ketidaksesuaian ini menghasilkan kebingungan yang kemudian melahirkan keraguan metafisik yang tidak disadari, karena kesadaran pikiran dengan indera terpecah tidak mampu menjangkaunya. Kesadaran pikiran adalah syarat bagi mahkluk yang memadat ( memiliki tubuh ). Oleh karena itu untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya, secara tidak sadar keraguan yang semakin terakumulasi tadi menetralisir dirinya membentuk sebuah kepercayaan / keyakinan[19].
Inilah titik waktu pada masa lalu dimana sebuah sejarah roh telah lahir, yang tentu kita semua tahu bahwa kondisi mental ini lebih banyak tumbuh subur di dalam wilayah – wilayah tingkat tinggi, misalnya kepercayaan pada pengalaman – pengalaman religius ataupun kesetiaan dalam sebuah cinta yang mendalam. Dari mana segala yang mengeras, kekerasan mental yang tanpa wujud inilah yang kusebut sebagai sebuah kemerosotan mental yang berikutnya, yang tentu didahului oleh cara menafsir sesuatu dengan indera – indera yang terpecah. Kekerasan mental yang disebut kepercayaan ini sesungguhnya juga merupakan inti penghambat pada manusia – manusia zaman sekarang untuk memahami makna sesungguhnya dari kehidupan itu, termasuk pula kaum terpelajar di lingkungan akademik bahkan pada orang - orang suci sekalipun.

Kembali, bahwa kehidupan berjalan harus dengan seluruh bola kesadaran, sedang kepercayaan timbul karena ada bagian dari bola kesadaran tadi yang tidak mampu ditafsirkan oleh kesadaran pikiran, yang akhirnya menimbulkan bagian bola yang tidak disadari ( bola ketidaksadaran ) dan dicap sebagai kebenaran. Kuasa ini bahkan tidak dapat dijangkau oleh kesadaran pikiran itu sendiri.
Yang lebih celaka lagi, ketika sebuah kebetulan dari fenomena alam terjadi, dimana melibatkan mahkluk hidup / benda tertentu, kuasa di dalam pikiran manusia akan bersarang kepada mahkluk / benda tersebut. Yang kemudian berlanjut pada sebuah penyembahan berhala. Sebuah penyembahan pun terjadi dan dengan sendirinya timbul pula konsepsi tingkatan / pembedaan[20] di dalam sebuah populasi manusia. Dengan adanya pembedaan timbul pula kuasa perintah[21] antara mahkluk hidup / benda yang dianggap suci tadi dengan manusia biasa yang tidak tersentuh oleh fenomena alam yang unik itu. Dengan demikian larangan – larangan / tabu yang diinformasikan oleh mahkluk hidup / benda ( bersifat konkret karena tafsiran indera yang terpecah ) suci tadi dapat menjadi sesuatu yang sangat mematikan. Apa yang diucapkan oleh mahkluk yang telah dicap suci tadi dapat menjadi sebuah perintah yang begitu berkuasa bagi manusia. Mungkin dapat menimbulkan kutukan atau pemberkatan. Sedang, benda – benda suci tadi akan bekerja lebih pasif, tapi tetap saja ia memiliki kuasa yang sangat besar. Apa yang harus saya katakan bahwa halusinasi setan, kesurupan, mati mendadak, melukai diri sendiri tanpa rasa sakit, kebahagiaan dalam penyembahan dan segala hal di luar kesadaran manusia awam, telah lahir sejak jaman purba. Inilah kemerosotan mental yang paling dalam dan keras, yang masih berlangsung hingga sekarang, serta telah berubah diri menjadi roh final dalam hidup setiap orang.

Makna sesungguhnya dari kehidupan yang tidak dapat terjangkau oleh bahasa konkret penanda dan yang ditandai, membuat manusia mulai dari generasi ke 2 mendamaikan makna kehidupan dengan cara yang lain, yaitu: sebuah kepercayaan, yang tentu tidak dapat dipikirkan sebagai rangkaian sebab akibat yang teraga. Melainkan bekerja dan tumbuh dari alam bawah sadar yang kadang muncul tiba – tiba ketika rangkaian sebab akibat bahasa konkret penanda dan yang ditandai dalam pikiran menemui jalan buntu untuk memaknainya dengan sesuatu dan ketika ekspresi cara berupa bahasa tadi tidak dapat mencukupi diri untuk menempelkan makna pada fenomena kehidupan yang lebih abstrak ( intuitif ). Inilah sebuah penyakit menjalar yang membuat manusia kehilangan pikiran sadar sejak jaman primitif, dimana setelah indera kita terpecah karena rangsangan kesadaran pikiran.
Di sisi lain, ekspresi cara, yang sejak mula sudah muncul mulai bergeser peranannya menjadi sebuah media bahasa objektif, juga memiliki pengaruh luas yang lain, yaitu terciptanya sebuah dunia konkret sebagai janin daripada cara berpikir ilmiah. Sebut saja logika ilmiah[22].
Bahasa, sebagai perwujudan konkret dari ekspresi cara, bertumbuh semakin banyak dan beragam untuk menandai ke-teraga-an segala hal diluar manusia. Bahasa yang dipelajari oleh manusia sejak genersi ke 2 lebih mudah dicerap dan lebih memenuhi hukum kesadaran pikiran yang lebih kepada hal – hal yang teraga ( benda – benda memadat ). Tapi fenomena alam tidaklah sesederhana itu, bahwa benda – benda yang paling padat itu sebenarnya masihlah bergerak. Hanya saja kekerasannya sedang berjalan di puncak gelombang, ada sebuah kekakuan yang sedang berjalan diantara naik dan turun dengan langkah – langkah yang lamban. Fenomena ini identik pula dengan sebuah ideologi politik yang sedang mencapai puncak kejayaannya yang paling jelas. Hanya saja kekerasan ideologi harus terjadi dulu, baru kemudian ia dapat melahirkan kekerasan benda – benda yang sefaham dengannya.

Kembali lagi, bahwa penanda dan yang ditandai pada bahasa lebih mengacu kepada makna – makna dunia yang lebih bersifat konkret. Dengan media ini segala hal diluar diri manusia dipelajari dengan cara yang lebih statis. Artinya satu penanda, dapat memiliki makna yang paling jelas ketika memiliki acuan kepada benda – benda yang paling padat. Ini adalah karakter daripada kesadaran pikiran. Pada tingkatan fenomena alam yang lebih esensial, benda – benda tersebut sebenarnya memiliki hukum sebab – akibat dan hubungan – hubungan yang saling terangkai di dalamnya. Untuk menandai sifat – sifat dan pola sebab akibat dari rangkaian ini, penanda – penanda yang konkret tadi mulai mengalami kesulitan untuk memaknainya. Hingga sampai pada suatu esensialitas pola yang lebih mendalam, produk – produk cara ekspresi berupa bahasa objektif tadi sudah tidak dapat memaknainya lagi. Kecuali intensi penanda[23] yang diciptakan dalam pikiran seorang subjek manusia beserta kesadarannya untuk menandai pola yang esensial tersebut. Dan tentu penanda yang terakhir ini lebih bersifat subjektif yang tentu memiliki kesulitan untuk dikomunikasikan ke manusia lain. Penanda subjektif ini sebenarnya memiliki kemungkinan membawa orang untuk memahami esensi kehidupan, tapi memerlukan kesadaran di atas kesadaran pikiran ketika mengkomunikasikannya.

Waktu terus berjalan, populasi manusia dalam sebuah daerah pun semakin bertambah banyak. Penanda – penanda objektif lebih mudah dicerna yang berkembang di dalam populasi tersebut kemudian menjadi sebuah media komunikasi yang semakin diakui. Diakui karena rumusannya yang paling teraga pada masing – masing indera. Ketika penanda – penanda konkret dan maknanya di dalam pikiran seorang manusia tercipta, dengan cara yang sangat sederhana ia merefleksikan dirinya dengan kesadaran pikiran. Benda – benda alam diluar dirinya dibenturkan, digesek, dilempar, digigit dan lain – lain untuk mempertajam kemampuan belajar dari kesadaran pikiran[24] ( sebuah tahap awal dari versi belajar dunia ). Dengan kemampuan mencoba – coba ini, berangkat dari benda – benda yang paling teraga, manusia mulai menemukan hukum bahwa segala hal di dunia ini memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Lama kelamaan konstelasi hubungan ini makin luas dan kompleks, yang tentu dapat berujung pada sebuah konsepsi alam ciptaan kesadaran pikiran itu sendiri.
Pada saat konsepsi alam ini menguasai kesadaran manusia, bahkan kadang sulit ditembus oleh kematian sekalipun, ini menandakan peradaban dari kesadaran pikiran hampir mencapai kekerasannya. Dan tentu, dari sejak muncul sampai dengan titik surutnya, kesadaran pikiran ini dapat memakan waktu berjuta – juta tahun lamanya. Kekerasan dari kesadaran pikiran yang menguasai seseorang merupakan kemerosotan mental yang paling mendalam sampai pada zaman ini.

Di sisi lain; intensi penanda di dalam pikiran yang diekpresikan ke dalam penanda konkret yang berupa media bahasa, dipelajari dengan cara pengajaran fisik ( dunia ) sampai dengan sekarang. Awalnya bahasa konkret yang bersifat objektif ini, dipelajari agar dapat berkomunikasi untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Bahasa ini mengkondisikan pula cara berpikir manusia yang terpecah – pecah yang menjadi dasar pembuatan peralatan, misalnya kampak berburu, periuk dari tanah liat, gubug kayu untuk berteduh dan lain – lain. Yang kesemua peralatan itu dapat digolongkan sebagai media yang masih berfungsi seperti bahasa adanya. Alat demi alat terus diciptakan dan dikembangkan. Sampai suatu saat, ketika fenomena gerak seperti gelombang air, arah angin serta karakter siang dan malam dapat ditafsir oleh kesadaran pikiran, manusia membuat alat transportasi yang sederhana seperti rakit atau perahu kecil. Sedangkan di daratan juga terjadi hal yang serupa. Ketika secara tidak sengaja seorang manusia purba menjatuhkan sebuah bongkahan batu ke sebuah lembah, kesadaran pikiran di dalam mentalnya langsung menyergap / menempati sebagian kecil dari bola ketidaksadaran untuk menjadi bagian darinya. Fenomena mental seperti ini mirip sekali dengan sebuah pencerahan, tapi harus ditegaskan bahwa pada tahap kekonkretan ini, pencerahan dan kesadaran pikiran masihlah sejalan. Fenomena batu menggelinding tadi, kemudian berkembang menjadi roda sebagai elemen dasar alat transportasi darat.

Sebelum berkembang lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan muncul: Pada titik waktu manakah kesadaran pikiran tidak lagi salah menafsirkan bagian dari bola ketidaksadaran yang ia tempati itu? Bukankah roda dan perahu yang diceritakan di atas adalah sebuah hal yang secara sengaja / tidak sengaja ditemukan / dipelajari untuk menyadari bola ketidaksadaran tersebut?… Bekerja ( menemukan / mempelajari ) dengan logika ilmiah yang bersifat reflektif[25]-lah yang dapat dikatakan sebagai kesadaran pikiran yang masih berjalan bersamaan dengan makna sesungguhnya dari kehidupan.

Segala semangat untuk melakukan pekerjaan[26] haruslah terletak di dalam pekerjaan itu sendiri. Dengan demikian, sifat reflektif untuk melihat fenomena kehidupan yang sebenarnya akan muncul. Tapi haruslah diingat, kedalaman dari sebuah makna kehidupan, tidak haruslah dikonkretkan, hanya perlu difahami dengan kesadaran.

Kebalikan dari semua itu, sejak lama semangat dari pekerjaan cenderung terletak kepada hal – hal yang lebih teraga, sebuah roh yang tumbuh dalam beragam kehormatan[27], yang berwujud sangat individual. Hal ini dikarenakan pergeseran benda – benda yang membungkus kehormatan tersebut selalu berubah – ubah mengikuti ruang dan waktu. Pada zaman sebelum abab pertengahan dominasi kehormatan itu masih lebih banyak mengacu pada pengamalan terhadap kepercayaan yang berupa larangan – larangan dan nasehat. Tapi perubahan pelan – pelan terjadi di seluruh penjuru dunia ketika mulai memasuki abad pertengahan. Sebuah perubahan yang menggeser objek kehormatan itu kepada wilayah yang lebih konkret, sebuah penanda akan ( kemampuan ) logika ilmiah[28] yang semakin beragam. Biarpun hal ini terjadi, bukan berarti larangan dan nasehat dari kepercayaan akan hilang. Ia masihlah tetap ada, selama cara kerja kemampuan logika ilmiah di dalam pekerjaan setiap manusia masih mengacu pada semangat di luar pekerjaan itu sendiri, yaitu penanda akan ( kemampuan ) logika ilmiah tadi. Dengan kata lain, bahwa orang – orang yang memiliki kepercayaan, tentu tidak melakukan sebuah pekerjaan untuk pekerjaan itu sendiri.

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat asal – mula terbentuknya sebuah dunia versi manusia, … sebuah keutuhan yang statis. Bola kesadaran yang sesungguhnya adalah makna murni kehidupan, awalnya adalah utuh, tapi karena gerak energi yang semakin melambat dan memadat, maka terbentuklah benda – benda konkret di semesta ini, salah satunya manusia. Pemadatan ini, melahirkan kesadaran pikiran tumbuh di dalam bola bola kesadaran sehingga timbullah bagian bola ketidaksadaran, maka mulailah petualangan dari 2 daya tafsir ini: kesadaran pikiran dan kesadaran murni akan kehidupan… akan bola utuh kesadaran.

Untuk memenuhi syarat kehidupan dengan tubuh memadat, ( benda ) dan manusia dengan sendirinya menggunakan kesadaran pikiran untuk mulai menafsirkan dan menstrukturkan dunia di luar dirinya dengan berangkat dari hal – hal yang paling konkret, sehingga indera pun terpecah. Inilah yang disebut logika ilmiah yang sampai sekarang telah mencapai puncaknya terdalam dengan teknologi sains. Sedang, makna murni kehidupan yang terletak dalam bola ketidaksadaran juga berperan dalam kehidupan manusia. Kesadaran pikiran tidak dapat menafsirkannya, sehingga makna murni kehidupan dibekukan secara lain dengan berbagai macam roh kepercayaan dan hampir membentuk 1 dunia utuh dengan logika ilmiah.

Maka demikianlah, dunia dirasakan begitu aman dan terarah andai kesadaran pikiran bekerja utuh dan mengurung diri dalam kandangnya sendiri. Tapi, bersyukurlah pada bencana dan segala hal chaos yang terjadi, yang ingin membuat semua itu menjadi bengkok. Karena dengan begitu, pintu gerbang untuk memahami makna murni dari kehidupan akan dibukakan kepada manusia.

Perkembangan terus terjadi, populasi manusia pun semakin banyak dan tumbuh secara bersamaan di seluruh penjuru dunia. Seperti yang diuraikan sekilas di depan, dari masing – masing populasi itu pada tiap manusia mencerna secara konkret apa yang ada di luar dirinya dan memetakannya ke dalam bahasa yang berupa bahasa tanpa perantara ( gerak, suara, mimik muka dan lain lain). Lalu dengan tafsiran yang statis pula diturunkan lagi ke dalam bahasa yang lebih konkret yang bersifat lebih membekukan ruang dan waktu, yaitu: bahasa turunan yang dapat berupa bahasa simbol tertulis dan peralatan.

Pada tingkat ini, pembekuan teraga yang seperti ini menjadi media yang paling objektif karena kekonkretannya, bukan karena penandaan terhadap maknanya yang lebih esensial. Artinya, maknanya justru terletak pada kekonkretan itu sendiri. Dengan demikian, bahasa turunan yang tercipta akan semakin banyak bentuk dan jumlahnya karena menandai benda – benda teraga yang ada disekitarnya dan menandai makna – makna yang lebih esensial yang berada di atasnya ( bahasa tanpa perantara dan seterusnya ). Di samping itu, bahasa turunan memiliki bentuk dan jumlah yang berbeda pula pada masing – masing populasi manusia yang berkembang di seluruh dunia ini. Misalnya bahasa tulisan Mesir kuno tentu berbeda dengan bahasa tulisan sanskerta dari India. Tapi dalam keberagaman itu, jika kita menempuh proses menariknya kembali ke atas dan ke atasnya lagi, kita akan menemukan sebuah kesamaan[29], yaitu makna murni dari kehidupan.

Kembali kepada tingkatan yang digeluti manusia tadi. Bahasa turunan ( simbol dan peralatan ) akan berfungsi sebagai alat komunikasi dan seiring berjalannya waktu, semua itu akan menurunkan simbol dan peralatan lainnya. Misalnya: dengan peralatan kapak dan batangan pohon, kita dapat membuat peralatan lain yang kemudian diberi simbol tulisan tersendiri yaitu kayu bakar, pahatan, sampai dengan sebuah wadah untuk menampung air. Contoh lain: pada zaman revolusi industri, ada ditemukan mesin uap, yang dapat diturunkan ke peralatan lain dengan simbol tulisan yang lain pula: lokomotif, mesin cetak dan lain – lain.

Inilah fenomena yang meluas, yang sesungguhnya berasal dari 1 titik kehidupan. Dengan cara logika ilmiah, interaksi antar peralatan menurunkan peralatan – peralatan lainnya, sedangkan simbol tulisan bekerja simultan untuk menandai seluruh struktur piramida kelahiran peralatan – peralatan tersebut. Hal ini membuat simbol tertulis yang berasal dari 1 tingkatan esensialitas harus menandai sekelompok besar peralatan yang berasal dari berbagai esensialitas.

Maka, haruslah kita sadari bahwa peralatan – peralatan yang ada di sekitar kita, sebenarnya berasal dari berbagai macam tingkat esensialitas yang saling merangkai menjadi 1 atau secara terpisah, yang masing – masing ditandai dengan 1 simbol bahasa. Pertumbuhan dan perkembangan dari simbol bahasa dan peralatan terus berlangsung pada satu wilayah populasi manusia. Karena jumlahnya begitu banyak, maka dirasakan perlu untuk dikumpulkan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga generasi yang baru lahir tersebut dapat dengan segera mengejar dan melanjutkan segala perkembangan yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Di sini, cara pembelajaran dengan logika ilmiah berjalan dengan sangat sederhana dan terlibat langsung dengan simbol bahasa serta peralatan yang ada di lapangan. Belum ada akumulasi manusia yang terorganisir untuk belajar. Jadi, segala aktivitas belajar tidak lari terlalu jauh dari keseharian orang yang mempelajari, serta bersifat lebih antar dan inter subjektif. Artinya, yang mengajari dan yang belajar memiliki kecenderungan lebih besar untuk

menggali dan melihat lebih jelas intensi – intensi mental di dalam diri mereka sendiri. Agar kemudian dapat menggunakannya sebagai media untuk menyampaikan hal – hal yang lebih esensial. Tapi, logika ilmiah telah tumbuh cukup dalam pada diri mereka, karena pengkonsiannya yang lebih awal dari pada pertemuan belajar itu sendiri. Hal ini membuat logika ilmiah bekerja penuh di dalam diri ke 2 orang ini, yang tentu berakhir pada penciptaan sebuah produk peralatan oleh orang yang mempelajari. Di lihat dari ruang dan waktu dimana berlangsungnya proses belajar yang sangat sederhana tersebut, sebenarnya memiliki kemungkinan lebih besar untuk merangsang orang melihat esensialitas dari kehidupan ini.

Di sisi lain, ada satu lagi karakter yang diturunkan oleh kesadaran pikiran dengan indera terpecah, yang merupakan daya penggerak untuk mengkondisikan manusia membentuk kelompok – kelompok aktivitas. Sifat kekonkretan adalah dunia manusia. Karena hal ini, kebermaknaan pun hanya melekat tipis pada kulit – kulit dari bahasa simbol dan peralatan.
Peralatan – peralatan yang beraneka ragam dan rasa tahu[30] akan hal ini menjadi kepuasan[31] tersendiri bagi kesadaran pikiran. Sebuah kepuasan yang lama – lama akan mengental dan menjadi sebuah standard penilaian akan keunggulan seseorang.
Pada momen ini, beberapa ilusi sepertinya terlahir secara bersamaan dan hampir secara penuh menguasai manusia. Rasa puas tadi, adalah rasa tahu akan banyaknya simbol bahasa dan peralatan yang cenderung sedikit memiliki analisa gerak ( logika ilmiah ) yang sederhana dan sedikit pula penjiwaan terhadap kepercayaan.
Karena dalam satu populasi, tumbuh dengan kesadaran pikiran yang sama, maka rasa puas itu adalah sebuah impian. Sebuah intensi ketertarikan yang dengan sendirinya tumbuh secara alami dan melahirkan sebuah penilaian positif pada orang – orang yang tahu banyak akan simbol bahasa dan peralatan tadi.
Di sini, bisa dilihat bahwa telah terjadi sebuah kemerosotan lagi, karena kesadaran pikiran telah menjelma untuk kesekian kalinya menjadi sebuah perangkat nilai yang semakin mengkonkret ke dalam 2 buah kutub kehidupan versi dunia, yaitu baik dan buruk.

Dari semua kondisi 1 populasi ini, maka secara intuitif massal, orang – orang dengan sendirinya mulai mengelompok dan bergerak keluar dari kesehariannya untuk belajar tahu tentang simbol
bahasa dan peralatan itu. Inilah awal dari gejala terbentuknya dunia sistem yang lebih konkret. Akumulasi orang – orang pun mulai terbentuk yang disertai pengumpulan informasi akan bahasa tadi, agar dalam satu titik waktu dan tempat, orang dapat dengan segera tahu tentang banyak hal dan dapat menciptakan peralatan yang lain. Maka, terciptalah kelompok – kelompok kerja yang merupakan benih – benih timbulnya bidang pekerjaan[32] yang lebih tergantung pada bentuk peralatan.

Selanjutnya peralatan adalah sebuah bahasa yang memiliki dimensi yang beragam dan tentu untuk dikumpulkan ke dalam satu tempat dimana orang – orang berkumpul adalah hal yang tidak memungkinkan. Maka, kecenderungan yang terjadi adalah pengumpulan bahasa – bahasa simbol tertulis yang menandai beragam peralatan tersebut. Sehingga kelompok yang mengumpul itu memiliki kemungkinan lebih besar untuk tahu sesuatu melalui bahasa simbol dari pada terlibat langsung dengan peralatan yang ada. Sampai disini, sebuah jebakan baru bagi kesadaran pikiran mulai muncul, yaitu sebuah jebakan yang justru terletak pada jembatan itu sendiri. Simbol tulisan adalah sebuah tanda yang menjembatani kepada peralatan dan sekarang, orang – orang ingin mengenal makna kehidupan melalui tulisan itu. Tidakkah ini akan membuat realitas lebih tersamar? Seperti yang diuraikan di depan, bahwa kesadaran pikiran sudah cukup tertutup ketika berhadapan langsung untuk menafsirkan esensi dari peralatan, apalagi makna kulit peralatan itu dimediakan ke dalam simbol tertulis. Dengan ini, 1 lagi selubung tercipta dan menutup kesadaran pikiran untuk mengenal makna kehidupan yang sesungguhnya. Dan ilusi yang terakhir ini berada dalam kelompok belajar[33] yang dominan menggunakan bahasa symbol sebagai media.

Akumulasi orang telah terjadi, sebenarnya ada 2 gelombang tersembunyi yang bergerak pada lintasan waktu secara bersamaan, tetapi terpisah dibelakang fenomena terjadinya akumulasi tersebut, yaitu logika ilmiah dan kepercayaan.

Orang – orang berkumpul karena ingin mendapatkan pengetahuan lebih banyak secara bersama – sama. Mereka akan saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa simbol dan peralatan. Tapi, segala fenomena bahasa tersebut, muncul karena sebelumnya indera kita yang telah terpecah – pecah oleh pengkondisian kesadaran pikiran. Maka wujud mekanistik kesadaran pikiran semakin jelas dan keras, apalagi ketika ia memiliki tangan – tangan yang telah terlatih yang lebih teraga, yaitu bahasa simbol dan peralatan tadi. Dengan itu, maka sifat dasar kesadaran pikiran semakin tertutup dan sulit untuk dilihat oleh manusia.

Sifat mekanistik yang didukung oleh simbol tertulis dan peralatan, kemudian berpengaruh kepada seluruh manusia di bumi ini untuk berpikir sesuatu dimulai dari kekonkretan. Beberapa cara analisa gerak sederhana yang mungkin tumbuh secara bersamaan di seluruh penjuru bumi ini, dengan sendirinya untuk memahami makna kehidupan melalui kesadaran pikiran. Tapi semua jenis analisa itu dilandasi oleh logika ilmiah, walau simbol bahasa yang menjelaskan analisa gerak dan rangkaian peralatan – peralatan tersebut berbeda – beda. Inilah gelombang pertama yang melandasi fenomena terjadinya perkumpulan orang. Objektivitas logika ilmiah merangsang pembentukan kelompok. Awalnya kelompok – kelompok ini berkembang sendiri – sendiri, tapi perkembangannya hingga saat ini telah sampai pada jumlah yang begitu besar, sebut saja jaringan global dari lembaga belajar, kelompok kedokteran modern, bahkan negara dan lain – lain.

Di sisi lain, wilayah – wilayah mental yang tidak dapat / belum dijangkau oleh logika ilmiah, ditafsirkan kesadaran pikiran sebagai pengalaman – pengalaman dengan intensi – intensi kepercayaan. Kepercayaan adalah sebuah abstraksi mental yang tidak dapat dimediakan ke dalam dunia. Tetapi, agar dunia ini terasa aman, jelas, dan teratur secara keseluruhan, kesadaran pikiran memediakannya lagi ke dalam bahasa simbol dan peralatan, bahkan ke dalam mahkluk hidup itu sendiri.
Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa bahasa simbol dan peralatan sudah begitu bergeser maknanya dari makna kehidupan yang sesungguhnya. Apalagi jika digunakan untuk menandai fenomena intensi kepercayaan yang begitu mengambang dan abstrak. Tidakkah ada sebuah loncatan makna yang terlalu dipaksakan, yang tentu bagi daya logika ilmiah itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan mustahil. Tapi bagi kesadaran pikiran semua itu membentuk sebuah dunia yang bulat, karena logika ilmiah dan kepercayaan adalah turunan dari kesadaran pikiran.

Sesungguhnya pengalaman kepercayaan adalah hal yang sangat subjektif, tapi ketika dituangkan ke dalam bahasa simbol dan peralatan, ia menjadi sebuah hal yang seolah dapat dikomunikasikan dan dibagikan di dalam sekelompok orang. Maka, inilah gelombang kedua yang mengkondisikan orang – orang untuk berkumpul. Sebuah kemerosotan yang begitu membeku, yang kadang menghasilkan ketakutan dan kesenangan tanpa akar logika ilmiah. Di samping itu, media bahasa tadi akan menyulitkan seseorang untuk mengenal pengalaman kepercayaannya itu sendiri, atau lebih tepatnya mengalami hambatan untuk mengenal dirinya sendiri secara metafisik. Dampak lain fenomena pengkakuan makna yang tidak pada tempatnya ini adalah sifat objektifitas konkretnya, yang kemudian malah menjadi makna utuh kepercayaan itu sendiri. Objektivitas kepercayaan tercipta ketika dikomunikasikan lewat bahasa simbol dan peralatan. Lalu objektivitas ini merangsang pembentukan kelompok. Awalnya kelompok ini berdiri sendiri – sendiri, tapi perlahan – lahan perkembangannya hingga saat ini telah menjadi kumpulan orang yang begitu besar, sebut saja seperti sekte – sekte, aliran – aliran kepercayaan bahkan agama dan lain – lain.

Gerak 2 gelombang ini sangatlah tidak berimbang, sebelum ilmu gerak Newton dan teman – temannya meresap ke dalam sebagian besar benak manusia. Artinya, ketika sebuah balok kayu tiba – tiba patah dan jatuh di dalam sebuah bentangan ruangan, orang – orang cenderung berlari kepada kelompok – kelompok orang yang menganut kepercayaan tertentu dan mencari alasan penyebab dari semua kejadian itu. Lalu, tentulah hal ini terjadi karena logika ilmiah pada waktu itu memiliki analisa gerak yang belum mampu untuk menjangkau kejadian seperti itu.

Kemudian, seiring arah perkembangan peradaban, terjadilah sebuah arus revolusi objektif logika ilmiah yang begitu besar dan jelas, yaitu ketika ilmu gerak berkembang dimulai dari Copernicus, Kepler, Galileo hingga Newton menguasai dunia. Dengan dasar ini, segala macam benda di luar manusia dapat dirangkai begitu kompleks serta dapat ditelusuri analisa – analisa teknis dari gaya yang bekerja di dalamnya. Di balik semua itu simbol bahasa dan peralatan sebagai media pun mengalami banyak pembaharuan dan tambahan. Dan ketika revolusi kedua terjadi sekitar tahun 1950 an oleh Einstein dengan Relativitasnya disusul oleh Hawking, membuat dunia mekanisasi gerak bersinggungan dengan masalah spiritual kepercayaan. Maka, dari sini boleh dikatakan bahwa logika ilmiah dan kepercayaan mulai berimbang dalam memperebutkan kesadaran manusia, walaupun keduanya bagi sebagian besar umat manusia merupakan arus yang berjalan sendiri – sendiri dan dipisah oleh sebuah tembok yang sangat keras dan besar serta mungkin… abadi.

Telah disinggung sebelumnya bahwa terjadinya rangsangan tafsiran konkret symbol dan peralatan dengan indera terpecah membuat manusia mengelompok / cenderung berkumpul untuk memahami sesuatu ( cara logika ilmiah dan kepercayaan ). Sesungguhnya, motivasi dibelakang semua gerak ini adalah kehendak untuk memahami kehidupan[34]. Di mana merupakan satu – satunya kehendak untuk hidup bagi mahkluk yang memadat. Kehendak untuk memahami kehidupan disini adalah pemenuhan kesadaran pikiran.

Tapi, motivasi tadi bergeser begitu jauh, ketika turunan simbol dan peralatan semakin banyak. Sejak bumi ini terbentuk, waktu 1 hari adalah kurang adalah 24 jam dan jika dibanding dengan banyaknya simbol dan peralatan yang diturunkan sampai dengan saat ini, membuat manusia seolah terbatas secara fisik untuk terlibat dengan semua itu. Artinya keseharian seseorang secara fisik hanya dapat bekerja dengan beberapa simbol dan peralatan yang ada disekitarnya, sehingga tentu ia akan mengalami kekurangan peralatan – peralatan lain yang lebih esensial. Kekurangan ini harus dipenuhi hanya untuk memenuhi kehendak hidupnya dalam memahami kehidupan. Kekurangan ini juga dirasakan ada, karena berakar dari kesadaran pikiran. Maka, untuk memenuhi kehendak kehidupan, sebuah aktivitas pertukaran yang disebut barter pun harus dilakukan. Ketika aktivitas ini pertama kali terjadi, motivasi kehendak memahami kehidupan ( cara logika ilmiah dan kepercayaan ) bergeser lagi menjadi sebuah motivasi baru yang hanya sekedar pembuatan serba cepat dari peralatan saja.

Sehingga kualitas simbol dan peralatan yang dipelajari dan diciptakan kemudian tidak lagi terletak pada keingintahuan logika ilmiah ataupun kepercayaan. Di samping itu, aktivitas barter yang lahir secara alami juga memiliki dimensi lain bahwa motivasi penciptaan peralatan – peralatan selanjutnya justru tidak terletak pada peralatan itu lagi, melainkan peralatan lain yang ingin ditukarkan. Hal ini menyebabkan, seseorang dalam kesehariannya sudah mulai mengkhianati penciptaan simbol dan peralatan yang ada dalam pekerjaannya, bahkan tidak untuk logika ilmiah dan kepercayaan. Keterasingan yang baru ini, memiliki kedalaman tersendiri bagi sebuah palung kemerosotan mental. Yang tentu manusia akan semakin jauh lagi dari makna murni kehidupan.

Apa pun itu, sebuah arus baru dalam memandang kehidupan telah lahir. Sebuah anak gelombang dari gelombang besar kesadaran pikiran mulai bekerja. Sebuah titik waktu dimana percikan – percikan sinyal syaraf di dalam mental manusia untuk mengumpulkan sesuatu mulai bereaksi. Sebuah asal usul lahirnya roh kapitalis[35].
Roh kapitalis, tumbuh hampir secara bersamaan di dalam mental manusia dengan kecenderungan yang mencakup 1 wilayah populasi. Sedang populasi lain yang mungkin terpisah oleh medan alam yang sulit akan memiliki waktunya tersendiri untuk berkembangnya roh tersebut tanpa pengaruh dari populasi lain. Demikian, bahwa seperti sudah ada garis waktunya sendiri bagi umat manusia, untuk dicemari oleh mental pengumpul seperti itu.

Semenjak mental pengumpul ini tumbuh di dalam diri manusia, keterlibatan manusia dengan simbol dan peralatan yang ada disekitarnya dalam keseharian menjadi semakin merosot. Karena, apapun yang dihasilkannya hanyalah didorong oleh keinginan agar dapat ditukarkan dengan simbol dan peralatan lainnya. Maka, kepuasan kehendak memahami kehidupan pun bergeser pada simbol dan peralatan yang dikumpulkan, yang satu arus dengan arah kebutuhan bagi tubuh yang memadat. Banyaknya jenis simbol dan peralatan yang terkumpul lalu dimiliki oleh sebuah tubuh yang memadat ibarat keinginan dan yang diinginkan telah bersatu. Sehingga dalam tubuh itu sendiri merasakan bahwa ia telah memenuhi kehendak memahami kehidupan. Sebuah kehendak menurut mental pengumpul, bukan kehendak makna murni kehidupan. Di sisi lain, simbol dan peralatan yang dihasilkan dengan mental pengumpul ini juga mengarah pada kenyamanan akan padatnya tubuh, seolah seluruh peralatan yang dikumpulkan ingin mengabadikan kepadatan itu. Tidakkah ini sebuah surga yang diciptakan sendiri? Yang dikarenakan lingkaran sebab – akibat yang berputar terus dan berdiri sendiri. Bahkan hampir seluruh umat manusia mengakuinya. Inilah yang sulit, yang juga membentuk gelombang besar. Sebut saja ini kehendak dunia.

Selanjutnya, apalagi yang akan diturunkan oleh kelompok – kelompok orang yang bermain di dalam lingkaran kulit tadi? Ketika seseorang menguasai banyak simbol dan peralatan, maka kesenjangan antara jumlah manusia dan banyaknya peralatan terjadi di dalam 1 kawanan populasi. Artinya ada orang – orang tertentu menguasai peralatan – peralatan turunan yang memiliki kemungkinan besar mengalami kekurangan peralatan – peralatan lain yang lebih esensial dan sebenarnya telah dikuasai orang lain. Untuk memenuhi kehendak hidup di puncak esensialitas, maka pertarungan untuk sebuah kepemilikan pun dimulai.

Menyangkut jumlah peralatan yang semakin banyak dan demi kemudahan dalam pemindahan secara fisik dan transaksi, orang – orang kemudian sepakat menciptakan sebuah peralatan tukar yang simbolik, yaitu uang, emas dan lain – lain.
Karena kepemilikan yang tidak seimbang, maka orang – orang cenderung berkumpul untuk berbicara tentang pertukaran peralatan – peralatan yang dimilikinya. Dimana kemudian akan muncul berbagai aturan dan teori – teori nilai tukar dari semua transaksi yang akan di lakukan. Semakin banyak kepemilikan seseorang maka ia memerlukan semakin banyak pula orang lain untuk membantu mengurusnya. Maka terciptalah kelompok – kelompok kerja yang memiliki pembagian dan tingkatan bidang kerja. Sebut saja pengaturan administrative ini sebagai aturan hirarki perkumpulan[36].

Kali ini, kecenderungan orang – orang berkumpul hanya karena ingin ikut bergabung untuk mengurusi simbol dan peralatan yang berjumlah sangat banyak milik orang lain. Dimana aktivitas jasa dari orang – orang tadi tentu tidak lagi terlibat langsung dengan penciptaan peralatan, melainkan bekerja memenuhi satu prosedur untuk mempertahankan kepemilikan sang pemilik. Mereka menukarkan jasa mereka dengan peralatan lain, yaitu uang tadi. Agar kemudian mereka dapat menukarkan uang itu dengan peralatan yang lebih esensial yang mereka butuhkan. Dari sini, kita telah melihat sebuah raksasa besar kepemilikan yang merata yang dipimpin oleh 1 orang untuk mempertahankan kekayaannya itu. Karena sifat kepemilikan itu, maka aturan hirarki perkumpulan pun menjadi sebuah aturan yang malah memperkuat kerangkeng besi yang justru pula menjaga lebih ketat kekayaan perorangan tersebut. Ya… sebuah hukum global terkutuk.

Telah diurai sebelumnya bahwa hirarki perkumpulan memang harus tercipta jika sejumlah orang terlibat dengan kepengurusan sejumlah besar simbol dan peralatan. Kepemilikan yang berpusat pada pemimpin dapat dihilangkan, jika hirarki perkumpulan dipraktekkan dengan struktur bertingkat administratif saja di dalam kepengurusan gerak alir simbol dan peralatan, bukan distrukturkan karena administratif kepemilikan yang berpusat kepada 1 titik.

Hirarki perkumpulan menimbulkan pola struktur 1 pemimpin dan bawahan yang bercabang, jika untuk sebuah perkumpulan seperti negara, perusahaan, organisasi dan lain – lain. Untuk pola struktur majikan dan buruh ( pembantu ) terdapat pada perkumpulan seperti perusahaan kecil, toko, rumah tangga dan lain – lain. Untuk pola struktur guru dan murid dapat terjadi pada perkumpulan seperti lembaga belajar, lembaga kursus dan bahkan untuk pola struktur tinggi dan rendah ada pada pembicaraan yang dimulai dari 2 orang atau lebih…
Intinya, dapat dikatakan bahwa, dimana ada perkumpulan maka disitu selalu ada roh yang sangat halus yang ingin menegaskan secara tidak sadar adanya atasan dan bawahan. Semua ini dikarenakan kesadaran pikiran yang menurunkan dirinya sedemikian banyak dan konkret. Jika kita melampaui kesadaran pikiran dan menyadari makna kehidupan, roh – roh yang bergerak sangat lembut tadi dapat kita deteksi keberadaannya di dalam mental kita. Bahwa atasan dan bawahan bukanlah sebuah tingkatan tapi sebuah perbedaan saja, yang berwujud konkret untuk mengatur keseimbangan dunia.

Maka, jika seluruh manusia menyadari kalimat ini, segala perkumpulan akan berjalan dengan sendirinya menjadi 1 gerak yang holistic tanpa kepemilikan yang tertunda pada mahkluk hidap memadat manapun. Sejumlah besar simbol dan peralatan menjadi tidak mutlak pada 1 mahkluk, tapi justru semua itu adalah milik semua mahkluk. Jadi ada waktu dimana segala simbol dan peralatan sampai di tangan kita, tapi kita juga harus sadar kapan semua itu akan meninggalkan kita. Ada sebuah kesadaran di atas kesadaran pikiran yang mengendalikan seluruh pergerakan ini.

Tapi, dunia ini tidaklah berjalan seperti yang diceritakan baru saja. Kehendak dunia, justru memanfaatkan aturan hirarki perkumpulan untuk mempertahankan kepemilikan seseorang, serta membuat aman jaringan – jaringan orang yang bekerja di bawahnya. Di sisi lain, hal ini semakin diperkuat karena ada fenomena peralatan memproduksi peralatan[37]. Di mana yang menyebabkan ledakan produksi simbol dan peralatan sekaligus terjadi kecenderungan terbunuhnya sifat logika ilmiah yang bersifat reflektif pada saat penciptaan simbol dan peralatan tersebut.

Besar kecil perkumpulan terus tumbuh dan berkembang serta terus pula membawa ilusi aturan hirarki perkumpulan sebagai sebuah tingkatan yang mesti dibedakan, bukan perbedaan yang mesti disamakan.
Dengan adanya tingkatan yang dibedakan, maka orang – orang yang berada di dalam 1 perkumpulan berlomba – lomba untuk menggapai tingkatan yang lebih tinggi dengan sebuah simbol yang disebut kehormatan. Turunan dari kehormatan ini dapat berupa simbol identitas gelar / pangkat, tingkatan kepemilikan ( baik uang maupun peralatan ), kuasa perintah, kuasa untuk menilai, komitmen kuat terhadap waktu, tingkatan hidup yang professional / ekclusif dan lain lain.

Akibat turunan simbol yang beraneka wujud roh ini, kesadaran pikiran semakin kuat tumbuh mengakar di dalam mental manusia. Sekelompok penanda administratif di dalam aturan hirarki perkumpulan turunan symbol ini, sekarang telah menjadi tangan penggerak bagi segala mahkluk yang memadat, terutama manusia di dalam keterlibatan dengan lingkungannya. Tentu saja, hal ini akan semakin membutakan manusia dan membuatnya semakin merasa aman di dalam sebuah kandang kebenaran.

Telah disebutkan bahwa perkumpulan pun mengalami penurunan ke dalam berbagai macam jenis, yang terjadi karena mengikuti banyaknya turunan dari simbol dan peralatan. Karena banyaknya ini, maka simbol dan peralatan serta segala informasi yang terangkai didalamnya memiliki kecenderungan untuk dikumpulkan ke dalam media simbol tertulis, lalu diinformasikan / diajarkan melalui perkumpulan belajar atau lembaga belajar.

Karena segala jenis perkumpulan telah terjebak ke dalam kehendak dunia, maka tentu sebuah lembaga belajar beserta manusia – manusia yang ada di dalamnya juga mengalami kemerosotan mental yang sangat dalam. Seperti perjalanan kemerosotan mental yang telah diuraikan oleh seluruh tulisan di atas.

Berikut, sebuah bagian tulisan abstraksi, yang ingin mengungkapkan tentang kemerosotan mental dalam wilayah lembaga belajar… :


…Kemerosotan Mental …Kaum Terpelajar

● Sistem Penilaian adalah sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil… yang malah selalu membuat semua mata rabun terhadap makna kehidupan. Bagi seorang pengajar yang melampaui kehendak dunia, penilaian hanyalah sebuah jembatan untuk menceritakan tentang posisi kemungkinan segala nilai.
Bahkan …kebodohan pun tidak lebih buruk daripada kecerdasan seseorang…

● Pengajar yang tidak tahu apa – apa tentang lembaga belajar, adalah pengajar yang memahami apa sesungguhnya belajar…

● Adalah pekerjaan yang tersulit: mengendalikan bendungan pengetahuan yang jebol dan mengalir ke mana – mana… tetapi tidak ada satu pun hidung yang mampu mengendusnya…

● Semakin pikiran menuju ke kedalaman eksistensi, semakin pula kita tidak dapat memilih apa yang ingin kita tulis dan bicarakan… karena di dalam kedalaman itu segala sesuatunya menyatu…

● Administratif Kehormatan adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan, agar kita ditinggikan. Lalu dari ketinggian, marilah kita turun untuk merendahkan diri… agar kemudian ketinggian kita memiliki tanduk untuk menyeruduk segala kebenaran …Sebuah bisikan roh bagi Pengajar Dunia …Sadarilah itu!

● Dorongan belajar yang paling murni, berada di luar panggilan waktu akademik dan diri kita…

● Pengajar yang melampaui kesadaran pikiran adalah pengajar yang selalu melihat pertanyaan di balik jawaban dan diam…

● Kadang – kadang bunyi yang paling keras menjadi keputusan yang disetujui dan paling benar … … … oleh: Pengajar Dunia!

● Menghargai ke”tua”an dari pada kedalaman pikiran …mengherankan sekali!
Bahkan di kedalaman pikirannya pun masih banyak jalan – jalan sesat…
Bagaimana mungkin gumpalan daging yang menua itu menjadi sebuah roh yang dapat menutupi makna kehidupan.
Ke”tua”an, selalu membelokkan segala sesuatu yang sudah berjalan apa adanya, dan terutama, Ia cemburu kepada Ke”muda”an.
Ke”tua”an, sebuah roh yang sudah berumur ribuan tahun. Dan sekarang, Ia telah menjelma menjadi sebuah penanda sekaligus penggerak kebijaksanaan bagi seorang Pengajar Dunia…

● Lembaga belajar menyebabkan banyak orang bunuh diri secara spiritual…

● Di dalam lembaga belajar, ada begitu banyak orang yang mencari hal – hal yang tinggi. Untuk itu, lalu mereka berlari kepada orang – orang yang telah ditandai dengan ketinggian pula. Apakah itu sebuah gelar yang tinggi, kerendahan hati, kharisma, ketegasan, kuantitas material yang berlimpah, pengetahuan yang luas, bahkan kesederhanaan… Semua itu adalah bungkusan, yang akan membelokkan semua hati memasuki sebuah dunia yang bulat. Kepasrahan yang terkekang dan kuasa yang merajarela. Bahkan, orang yang sedang menuju ke ketinggian itu pun memiliki ranjau kebodohan yang sangat besar…

● Bahkan lembaga belajar pun merupakan tembok paling keras yang menghalangi jalanku untuk memahami kehidupan…

● Menempuh sekolah lebih tinggi … dan lebih tinggi lagi… Banyak pengajar yang belum siap untuk yang satu ini, makanya mereka dapat melewatinya dengan mudah. Mereka selalu salah terhadap dirinya sendiri dan selalu mengira segala yang keras itu adalah kebenaran. Keras menjadi seorang intelektual yang sukses… orang – orang dunia menyebutnya. Tapi bagiku, mereka semua sedang berada dalam bahaya kemerosotan mental…

● Satu lagi… ada yang terang – terangan memasuki sebuah tingkatan hirarki perkumpulan dengan identitas pangkat, kekayaan dan kebanggaan. Tapi bagaimana mungkin semua daya ilusi ini menggerakkan pekerjaannya itu… Diinspirasi oleh penanda dan menjalankan pekerjaan. Kapan ia akan melihat arti sesungguhnya dari sebuah pekerjaan?…

● … Ketika seorang guru besar mengatakan “ Janganlah mencari kesulitan sendiri, wahai muridku!” Lalu muridnya berkata dalam hati “ Tidakkah sang guru sedang mencari aman di dalam rumah kebenarannya sendiri? Dia sepertinya masih belum merasakan betapa manisnya kesulitan itu? Ada madu di dalamnya… Tidakkah dunia telah dibuat sempit dan tenang oleh kehormatannya sendiri?”

● Ketika menjadi guru besar, sebuah kebodohan membeku, tapi sebuah kebodohan lebih besar mulai berlangsung…

● Kebenaran ucapan seorang pengajar sering terletak pada nilai positif kehormatannya, tidak terletak pada isi ucapannya… … … oleh: seorang murid!

● Gila… bahkan tata aturan ilmiah pun sering merusak sebuah karya penulisan…

● Sistem kurikulum lembaga belajar yang dipaketkan mengandung roh kapitalis!

● Pernah kulihat seorang pengajar yang terkurung dalam ketinggiannya sendiri, lalu dia menjadi lupa bagaimana cara untuk berbicara dengan anak – anak...

● Sesungguhnya kebenaran pun tidak terletak pada pengakuan orang banyak. Tindakan publikasi memiliki kuasa kemapanan dari kehormatan…

● Menulis adalah seperti berbicara pada diri sendiri, dimana kata – kata dan rangkaiannya dapat kita petakan ke dalam pikiran. Kita dapat berpikir pun karena ada bahasa…

● Sebuah rangkaian tulisan hanyalah media objektivitas. Dan tentu ia memiliki kekakuan sekaligus fleksibilitas untuk menunggu di sebuah titik ruang dan waktu, agar kemudian bertemu dengan seorang pembaca…

● Tidakkah kedalaman dari sebuah pekerjaan belajar mulai terbuka, ketika pekerjaan tersebut berhubungan dengan segala sesuatu diluarnya? …Tapi, Kesadaran yang rendah atas Pikiran selalu memiliki daya yang rendah untuk melihatnya …Akhirnya, jalan yang ditempuh adalah dengan cara banyak membaca…?

● Membaca untuk tahu dan mengerti tentang banyak hal adalah perjalanan yang panjang untuk mencapai induk dari segala pengetahuan …yang bahkan mengambil waktu 1000 tahun dari kehidupan manusia …Tapi sesungguhnya, melalui 1 hal saja kita sanggup mencapainya …yaitu melalui kesadaran akan makna utuh kehidupan…

● Sering kulihat sistem kelembagaan dari belajar menjadi cambuk bagi segala orang dunia untuk mengembangkan dirinya lebih lanjut… Tapi, tidakkah mereka hanya menumpang dan bergelantungan di pintu kereta pengetahuan untuk mencapai kehormatannya sendiri …Dan ketahuilah, kehormatan adalah anak dari roh kapitalis.

● Untuk mencapai sebuah kedalaman pikiran, sopan – santun pun harus dilanggar dan disadari…

~~~